Pemimpin Gereja dalam Tantangan Ekumenis-Kebangsaan

HARIMAN A. PATTIANAKOTTA

Kalau kita menilik sejarah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)  berdiri dalam tarikan dua gerakan: ekumenis dan nasionalis. Karena itu, gereja-gereja di Indonesia yang memperjuangkan keesaan, tidak mungkin melakukannya tanpa peduli dengan soal-soal kebangsaan.


Tanpa maksud melebih-lebihkan, lima tahun ke depan situasi nasional Indonesia mungkin tidak baik-baik saja. Kita sedang ditantang oleh ancaman matinya demokrasi, seperti yang disinyalir Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019). Pemilu masih dilakukan, tapi pesta demokrasi itu sudah dibajak. Politik kartel, politik uang, politik dinasti, menjadi ancaman serius. Otoritarianisme bisa muncul dari balik kotak suara.


Karena itu, kita mesti selalu waspada. Ditambah dengan persaingan global. Perang dagang Amerika dan China di era kedua Donald Trump. Ketegangan Rusia-Ukraina. Perang Israel-Palestina yang terus berkecamuk. Semua ini akan berdampak terhadap situasi nasional Indonesia dalam banyak aspek, termasuk ekonomi. Jadi, harus berhati-hati.


Dalam konteks demikian, kita tidak hanya butuh kepemimpinan nasional yang kuat, tapi bukan otoriter. Kita juga membutuhkan kepemimpinan gerejawi yang kuat dan bersahabat. Jujur dan mengayomi. Tidak mudah untuk dipengaruhi dan gampang dimanipulasi oleh kekuasaan.


Kita mendambakan bahwa pemimpin gereja di PGI adalah pemimpin pastoral yang berkarakter. Tegas dalam menyuarakan kebenaran. Punya nyali untuk menyatakan kesalahan. Tidak takut dengan ancaman. Bahkan, siap membayar harga. Nyali pastoral-profetik seperti ini yang dibutuhkan gereja-gereja di Indonesia untuk lima tahun ke depan. Sebab, tantangan kebangsaan kita memang tidak ringan.


Bukan berarti pemimpin gereja yang menahkodai kapal ekumenis itu menjadi serba kaku. Gereja dan bangsa Indonesia yang majemuk membutuhkan  juga pemimpin yang fleksibel. Cakap bernegosiasi tanpa harus melacur. Piawai menganyam berbagai harapan di tengah perbedaan. Inovatif dan kreatif menjawab tuntutan permasalahan di tengah konteks, dan menterjemahkannya dalam karya-karya konkret yang dibutuhkan umat.


Kualifikasi pemimpin yang demikian yang kita perlukan. Gereja-gereja yang bernaung di dalam PGI harus menggumuli sosok-sosok seperti itu dengan serius. Bukan sekadar asik dalam eforia politik praktis gerejawi dalam ajang lima tahunan ini. Apalagi karena itu lalu relasi persahabatan dan persaudaraan menjadi renggang dan rusak.


Memang, tak ada pemimpin yang sempurna. Pendeta pun tidak. Jadi, Sidang Raya PGI tidak boleh hanya fokus untuk memilih Ketum dan Sekum. Seluruh Majelis Pekerja Harian harus mendapatkan perhatian serius. Sebab, tanpa tendensi hiperbolis, pemimpin secara kolektif itu punya peranan besar dalam mengusung perubahan.


Sewaktu Sidang Raya di Kinasih, Bogor pada 2004, saya menjadi pandu sidang, dan mengingat salah seorang sepuh berkata lantang: "Ikan itu busuk dari kepala. Kalu kepala busuk, sampai ke ekor juga busuk." Maknanya sederhana, pemimpin itu punya dampak besar, baik ataupun buruk. Jadi, kita memang tidak bisa juga menyepelekan soal memilih para pemimpin ekumenis di PGI.


Dalam kaitan itu, gereja-gereja di Indonesia  tidak boleh menggantungkan harapan hanya kepada satu atau dua orang yang dianggap super atau pantas. Sejatinya, superman itu fiktif. Super team-lah yang riil. Gereja memerlukan orang-orang yang mau dan mampu bekerjasama sebagai sebuah tim.


Jadi, berdoalah dengan sungguh-sungguh sebelum memilih pemimpin. Ini bukan soal si A atau si B saja. Tapi tentang sosok dan kualifikasi pemimpin yang akan menahkodai kapal ekumenis secara kolektif kolegial.


Di satu sisi, para pemimpin itu harus mampu menangkap pergumulan umat dan gereja-gereja yang bergulat dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Dan pada sisi lain, mereka pun mesti sigap bernegosiasi dan berdialog secara pentahelix. Mereka harus mampu berkolaborasi dengan berbagai instansi untuk mewujudkan panggilan ekumenis dan kebangsaan secara sekaligus.


(Pendeta GKP, bertugas sebagai Pendeta Universitas UK. Maranatha, Bandung)

Toraja, 8 November 2024)


Hidup sebagai Terang Yang Membuahkan Kebaikan, Keadilan, dan Kebenaran: Otokritik - 01
HARIMAN A. PATTIANAKOTTA