Pekan yang baru telah kita masuki, dan kita masih di sini untuk menggulati isu-isu ekumenis-kebangsaan. Lobi-lobi pun kian terasa instens dilakukan. Lobi-lobi tentu wajar saja, dalam rangka membangun perkenalan dan melakukan kompromi. Namun, jangan sampai kita membuat janji-janji surga sampai kita lupa diri. Lupa bahwa kita adalah gereja.
Gereja diajak untuk tidak menjadi serupa dengan dunia. Namun, terkadang bukannya menggarami dunia, gereja malah "digarami" dunia. Gereja ikut-ikutan dunia, lalu menjadi sama saja dengan dunia.
Misalnya dalam Pemilu atau Pilkada, para calon mengumbar janji, akan begini dan begitu, padahal kosong. Nol. Bahkan, ada yang menghalalkan segala cara. Membuat gosip ini dan itu. Istilahnya black campaign. Menyebarkan fitnah, supaya meraup untung dan mendapatkan kursi.
Gereja tidak boleh ikut-ikutan cara yang demikian. Kita mesti merancang dan melakukan cara yang lebih elegan dan terhormat! Untuk itu, dalam proses pemilihan pimpinan di PGI, misalnya, kita harus melakukannya dengan spirit dan gaya yang berbeda.
Di luar sana, banyak instansi dan negara mulai menawarkan sistem meritokrasi. Sistem ini memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjabat bukan karena koneksi. Bukan pula karena aji mumpung, atau karena ingin mengambil sesuatu. Meritokrasi membuka ruang bagi mereka yang berprestasi dan yang punya kompetensi.
Sistem yang mendasarkan pada meritokrasi itu baik juga kalau dipikirkan oleh peserta Sidang Raya. Paling tidak, spiritnya ditangkap, yakni seseorang diberikan amanah karena ia berprestasi dan punya kompetensi.
Karena itu, Sidang Raya seharusnya memberikan ruang bagi mereka yang terpanggil untuk menjadi pimpinan PGI untuk menyampaikan gagasan dan visi. Mau dibawa ke mana PGI dan gereja-gereja di Indonesia. Lalu, para pemimpin gereja terlibat dalam diskusi yang mendalam, serta menyiapkan peta jalan.
Dari sana, para peserta sidang melihat juga rekam jejak para kandidat, mendoakan mereka dengan sungguh-sungguh, lalu memberikan pilihan secara obyektif dan rasional. Bukan sekadar karena formasi Timur-Barat; gereja kecil atau gereja besar; laki atau perempuan; gereja serumpun atau sewilayah. Ini semua memang kenyataan yang berpengaruh terhadap pilihan pemimpin. Tapi kita tidak bisa dan tidak boleh terjebak di situ saja.
Gereja tidak boleh serupa dengan dunia ini. Kalau mau menjadi terang, dan memberikan harapan baru, maka kita perlu berpikir dan bertindak dengan lebih ideal. Bukan berarti mengawang-awang, tetapi memboboti cara kerja gereja dengan hal-hal yang lebih esensial dan berkualitas.
Misalnya, dalam memilih pemimpin, pertama, kita harus lebih banyak berdoa, meminta kepada Tuhan, sebab kita yakin bahwa pemimpin itu berasal dari Tuhan. Tidak ada pemimpin, kalau Tuhan tidak berkenan dan mengangkatnya. Lobi boleh saja, tetapi doa yang harus lebih diperbanyak. Bukan mau meminta Tuhan menjadi "tim sukses", tetapi bersama merendahkan diri di hadapan Tuhan, dan memohon perkenaan-Nya.
Kedua, kita melihat prestasi dan kompetensi. Kompetensi intelektual, moral, sosial, dan spiritual. Cek rekam jejak! Lihat pemikiran dan pelayanan yang sudah dijalankan, apakah mencerminkan kebutuhan dan harapan dari gereja-gereja di masa kini.
Jadi, Sidang Raya juga harus memberikan kesempatan kepada para peserta untuk mengenali para calon pemimpin yang direkomendasikan gereja dengan lebih terang. Jangan sampai pemilik hak suara hanya memilih sekenanya saja. Atau, seperti memilih kucing dalam karung!
Sering saya mendengar, bahwa sebagai pemimpin gereja, kita tidak bisa memiliki visi pribadi. Kita hanya tahu visi Tuhan atau visi gereja. Benar! Namun, seorang pemimpin harus dapat menurunkan visi Tuhan itu ke dalam aktivitas ministerial untuk menjawab pergumulan zamannya.
Lebih lagi, seorang pemimpin harus mampu melihat jauh ke depan, kepada hal-hal yang tak bisa dilihat dengan "mata biasa. " Pemimpin itu harus visioner! Karenanya, para pemimpin gereja yang bersidang di Toraja harus mendengar visi para calon pemimpin. Entah itu terjadi dalam forum diskusi di rapat pleno, maupun dalam forum panitia nominasi.
Di luar sana, saat Pemilu atau Pilkada, kita sering memprotes cara-cara pemilihan pemimpin politik karena kita tidak tahu banyak tentang mereka. Kita tidak kenal mereka. Kita minim informasi. Akhirnya, kita pilih saja yang kita tahu. Kita pilih yang satu suku. Satu agama. Kita pilih mereka yang punya kedekatan khusus atau tertentu dengan kita. Atau, kita lihat, mana yang cantik atau tampan, itulah yang kita pilih. Ouhh!
Maukah kita mengulang kesalahan yang sama di gereja, dalam organisasi dan forum sebesar PGI dan Sidang Raya? Tidak kan?
Kalau begitu, mari kita coba untuk membangun dan menerapkan sistem meritokrasi dalam menjaring dan memilih pemimpin PGI. Mungkinkah kita mencobanya? Berikanlah contoh bagi Indonesia dan dunia!
(Pendeta GKP, bertugas sebagai Pendeta Universitas UK. Maranatha, Bandung)
Toraja, 11 November 2024