Kemarin ruang persidangan PGI disesaki dengan beragam pergumulan dan harapan. Hari ini, peserta sidang menikmati keteduhan ibadat Minggu bersama saudara-saudari seiman.
Ada sela. Ada jeda untuk bersaat teduh. Merenungkan ulang semua yang terlontar di sidang. Lima krisis, satu tantangan. Krisis ekumenis, krisis kebangsaan, krisis ekologis, krisis keluarga, krisis pendidikan. Tantangan dari budaya baru, budaya digital. Wow? Kata orang Sunda, "berat pisan!" Berat banget!
Namun, itu memang realita! Satu saja yang saya mau soroti. Apa? Ini, gereja-gereja dan jemaat kita masih suka bertengkar. Para pendeta sendiri menjadi dalang dari krisis ekumenis. Kadang umat dan kita sendiri bertanya, kok bisa? Kenapa ribut-ribut sih? Konflik kok doyan! Soal persembahan? Tentang tempat makan? Atau, pengaruh dan kekuasaan?
Sudahlah! Setiap orang punya bagian. Setiap kita punya tanggung-jawab. Masing-masing memiliki posisi dan berkat! Tak perlu saling menjatuhkan!
Posisi atau jabatan adalah amanah. Kalu tentang berkat, burung di udara Tuhan beri makan. Hal itu sering kita khotbahkan sendiri. Jadi, kenapa takut? Takut kalau bukan aku, tapi dia yang mendapatkan jabatan? Jabatan itu amanah! Dari siapa? Dari Tuhan! Itu kan keyakinan kita, dan memang benar demikian.
Kalau Tuhan mau pakai kita, tak ada satu pun yang bisa menghambat dan menjatuhkan kita! Dia yang panggil, Dia yang topang sampai selesai!
Jadi, lurus-lurus saja. Apa adanya saja, tidak perlu mengada-ada. Kosongkan diri! Kenosis, seperti yang dilakukan Yesus. Para pendeta harus belajar terus. Saya dan Anda harus terus berjuang untuk melakukan apa yang dikhotbahkan tentang kenosis.
Kita melayani bukan untuk meninggikan diri sendiri! Kristus Yesus yang kita tinggikan, bukan diri kita sendiri.
Eh, kok saya jadi berkhotbah ya? Iya, sambil berdiri di depan cermin, saya bilang kepada dia yang ada di depan: "Biarlah Dia yang semakin ditinggikan!"
Kalau kita meninggikan Dia, diri kita sendiri harus kita kosongkan. Dan hanya dengan mengosongkan diri, kita dapat diisi oleh Dia. Dia mengisi kita dengan hikmat dan kebijaksanaan sehingga kita dapat bersikap tenang di tengah badai dan terus berpengharapan.
Mengosongkan diri berarti menurunkan ego dan ambisi pribadi yang merugikan orang lain dan persekutuan, bukan menurunkan capacity. Dengan cara ini, kita akan mampu mendengarkan dengan lebih baik. Mendengarkan dengan empatik. Menyimak dengan hati! Kalau ini terjadi, kita akan selalu mampu menemukan solusi, bukan malah memperumit situasi.
Orang yang terus memperumit situasi, doyan menciptakan konflik, adalah pribadi yang bermasalah. Karena itu, di mana saja dia berada, dia akan berkonflik dengan siapa saja. Dan pribadi seperti ini akan terus menjadi masalah dan beban kalau tidak berubah.
Pendeta dan pemimpin ekumenis tidak boleh menjadi beban. Karena itu, pendeta harus mampu melakukan kenosis supaya tidak menimbulkan atau memperbesar masalah. Sebesar dan seberat apa pun masalah yang dihadapi, kenosis membuat kita kuat menghadapinya secara elegan. Bahkan, kita akan sanggup keluar dan menjadi pribadi dan gereja yang dewasa.
(Pendeta GKP, bertugas sebagai Pendeta Universitas UK. Maranatha)
Toraja, 10 November 2024