Hidup sebagai Terang Yang Membuahkan Kebaikan, Keadilan, dan Kebenaran: Otokritik - 01

HARIMAN A. PATTIANAKOTTA

Gereja-gereja di Indonesia yang bernaung dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) akan menghelat perjumpaan dan persekutuan akbar sebagai gereja yang satu pada 8-13 November 2024. Gereja adalah tubuh Kristus, memiliki anggota yang beragam, tetapi satu Kepala. Unity in diversity.


Kesatuan dalam keragaman itu dirayakan dalam konsili ekumenis, disebut Sidang Raya. Kali ini Tanah Toraja menjadi saksi bersejarah momen lima tahunan ini.


Di kota Tongkonan ini kepelbagaian gereja dirayakan. Perbedaan denominasi bukan ancaman. Perbedaan justru menjadi kekuatan. Orang yang berbeda bukan lawan, tetapi dilihat sebagai kawan dalam peziarahan. Kita boleh berbeda, tetapi kita tetap satu. Bhineka Tunggal Ika.


Keyakinan itu (Bhineka Tunggal Ika) bukan slogan. Keyakinan itu adalah komitmen iman Dihayati dengan penuh kesungguhan. Dirayakan dengan tulus-sukacita. Bukan dengan kebohongan dan kemunafikan.


Masyarakat nasional dan internasional membutuhkan teladan. Teladan dalam berelasi. Teladan untuk mengelola perbedaan. Gereja, sebagai tubuh Kristus dan bait Roh Kudus, haruslah menjadi komunitas eksemplaris. Gereja memberikan contoh bagaimana berkolaborasi di tengah perbedaan.


Akan tetapi, gereja kadang gagal dalam mengelola karunia dan talenta yang dimiliki. Bukan mengusung spirit kolaborasi, gereja-gereja malah suka berkontestasi. Para pendeta dan pengurus gereja yang disebut hamba Tuhan,  kerap kali bertikai. Mulai dari hal yang remeh-temeh, seperti memperebutkan pengaruh, hingga menyangkut kekuasaan dan jabatan, sampai urusan uang persembahan.


Dalam realitas dan fenomena yang demikian, kita menemukan bercokolnya irih hati dan kedengkian, rasa rakus dan haus akan pengakuan. Inilah yang disebut sebagai roh kedagingan yang dapat memecah-belah gereja selaku umat Allah.


Untuk menjadi terang, gereja harus melakukan introspeksi. Momentum sidang raya adalah momentum untuk melihat diri dan panggilan di masa kini. Sebelum gereja mengkritik yang lain, gereja harus melakukan kritik diri. Otokritik membuat gereja lepas dari kesombongan rohani. Merasa diri berarti, padahal tidak. Merasa sudah suci dan kudus, padahal sebaliknya.


Alhasil, gereja kehilangan taji. Gereja tumpul dalam soal relevansi. Lalu, akhirnya gereja pun kehilangan jatidiri. Ada, tapi sebetulnya tiada. Nothing!


Sidang Raya PGI kali ini mengandung seruan bagi gereja -gereja untuk pertama-tama melihat balok di mata sendiri. Dengan melepasnya kita mampu melihat jalan dengan lebih jernih. Apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam konteks hari ini dapat kita selami dan kenali.


Tema Sidang Raya kemudian dapat kita refleksikan menjadi agenda iman, dan diterjemahkan dalam laku ekumenis. Perbedaan karunia lantas menjadi kekuatan. Talenta yang berbeda-beda, potensi yang tidak sama, justru semakin memperkaya gereja untuk action dalam hidup dan dinamika ekumenis-kebangsaan.


Gereja perlu ingat, Bhineka Tunggal Ika itu kita! Kita adalah gereja; yang mengada untuk menjalankan agenda-Nya. Para pendeta dan pemimpin gereja hanyalah hamba-hamba-Nya. Kita adalah penatalayan. Tidak lebih, tidak kurang!


Maka, di Persidangan Raya ini, mari kita rayakan kehambaan dan kepenatalayanan kita sebagai gereja dengan penuh kerendahan hati, demi transformasi dan gerak bersama yang lebih baik di masa kini dan masa depan.


Selamat merayakan perjumpaan dan persekutuan bagi gereja-gereja anggota PGI dan para mitranya di Tanah Toraja yang ikonik!


(Pendeta GKP, Bertugas sebagai Pendeta Universitas UK. Maranatha, Bandung).

#Makasar, 7 November 2024.


MERITOKRASI DI PGI, MUNGKINKAH?
Hariman A. Pattianakotta